ABDUL JAMIL RIDHO dan NITI SOEDIGDO
Penemu Varietas
Unggul Singkong Raksasa Darul Hidayah
Di antara sekian banyak jenis singkong, barangkali singkong
raksasa hasil temuan Abdul Jamil Ridho adalah jenis yang masih langka.
Raksasa? Betul. Saat ditemui di Pameran Otonomi Daerah 2001 di JCC, Jakarta
akhir Februari 2001 lalu, Niti Soedigdo, pengembang tanaman tersebut
menceritakan bahwa singkong raksasa tersebut ditemukan setelah ulama asal
lampung itu melakukan perenungan.
Kisahnya dimulai seusai melakukan dzikir panjang, lima
tahun lalu, di tengah hutan Panaragan Jaya, Lampung Utara, Ridho, pengelola
Pondok Pesantren Darul Hidayah di Kota Tulang Bawang, Lampung itu tiba-tiba
dikejutkan oleh sebatang tanaman. Sekilas, tanaman tersebut memang terlihat
sama dengan singkong di kebunnya. Namun, begitu dicermati lebih dekat,
tampak ada sedikit perbedaan. Lantaran penasaran, tanaman itu pun dicabut dari
tanah. Ternyata diameter singkongnya lebih kecil dibanding singkong
umumnya. Tetapi panjang umbinya mencapai satu meter per batang jalar dalam
satu rangkaian umbi. “Subhanallah”, ucap Ridho spontan waktu
itu.
Yakin bahwa tanaman itu bisa membawa berkah, ulama ini
pun memutuskan untuk memboyong ke pondok pesantrennya. Di sanalah, singkong
‘aneh’ itu kemudian disulap menjadi singkong raksasa.
Oleh Niti Soedigdo, orang kepercayaan ulama tadi,
singkong tersebut tak hanya ditanam, namun juga direkayasa dan dikembangkan
lagi olehnya agar menghasilkan singkong raksasa. Caranya dikawinkanlah
singkong unggul itu dengan singkong karet untuk mengembangkan ukuran
umbinya. “Singkong ini saya sambung dengan singkong karet”,
ungkap Niti Soedigdo.
Singkong karet adalah singkong yang tak bisa dimakan
karena beracun. Namun untuk menghasilkan ukuran singkong yang dikehendaki,
ternyata tidak mudah. Soedigdo mengaku butuh waktu hingga tiga tahun untuk
bereksperimen. Dari panen pertama belum mencapai hasil itu, singkong persilangan
itu ditanam lagi dan dilihat hasilnya. Itu pun belum mencapai hasil
maksimal. Upaya ini dilakukan sampai tiga kali. Alhasil, dari generasi
ketiga itulah singkong raksasa tersebut lahir.
Sukses melakukan percobaan, oleh Soedigdo, batang
singkong raksasa pun mulai dikembangkan. “Pak Ridho setuju jika
singkong ini dikembangkan”, ujarnya. Pria subur yang juga ketua umum
Gabungan Koperasi Pertanian Serba Guna “Sumber Jaya”, Lampung
ini dengan yakin menyatakan bahwa singkong jenis ini sehat sepenuhnya,
meskipun hasil perkawinan dengan singkong beracun. “Itu sebabnya, ini
termasuk temuan spektakuler”, aku Soedigdo. Pria berusia 65 tahun
yang mengaku sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia singkong ini
mengaku, bahwa selain sehat, singkong raksasa ini juga menguntungkan jika
dikembangkan. Pasalnya dari jenis singkong unggulan terdahulu, semuanya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam proses tanamnya. Sementara,
singkong hasil temuannya tidak terlalu menyedot biaya produksi.
Perhitungannya bisa dilihat dari hasil panen dalam
tiap hektarnya. Contohnya, jenis singkong unggulan mukibat bisa
menghasilkan 100 ton/hektar tiap panen. “Tapi ongkos tanamnya
payah”, keluh pria kelahiran Surabaya yang menjadi transmigran
spontan di Lampung ini. Soalnya, petani harus menggali sedalam satu meter
dan juga dilakukan penempelan. Kesulitan seperti itu tidak ditemukan pada
singkong yang oleh Soedigdo diberi nama “Singkong Darul
Hidayah” ini. Bayangkan saja, sekali panen per hektarnya kita dapat
150 ton”, ujarnya. Sementara biaya penanamannya tidak mahal. Cukup 4
juta rupiah per hektarnya. “Itu pun sudah termasuk bibit dan pupuk
selama masa tanam sekitar 8 – 11 bulan”, lanjutnya. Hasil ini
terpaut jauh dengan hasil singkong biasa yang hanya 20 ton per hektar tiap
panen. Sedangkan harga bibit singkong raksasa Darul Hidayah hanya Rp 150,-
per setek dengan panjang 15 – 20 cm. “Bibit untuk satu hektar
hanya 1,5 juta rupiah”, jelas Soedigdo.
Sekarang bibit singkong ini bisa diperoleh di koperasi
yang dipimpin oleh Soedigdo. Tidak terasa, singkong ini pun populer sejak
pertama kali diperkenalkan pada sebuah pameran di Jakarta tiga tahun lalu.
Peminat dari berbagai daerah di Jawa, seperti Bandung, Surabaya, Malang dan
Madiun, juga daerah di Sumatera seperti Medan dan Palembang ramai-ramai
datang ke koperasi yang dipimpinnya.
“Bibitnya tidak boleh dikirim melalui paket,
harus datang dan bawa sendiri”, saran Soedigdo. Kenapa? Harus
demikian karena kepekaan bibit tersebut dengan suhu yang tidak stabil saat
perjalanan. Jadi harus dijaga betul. Para pembeli pun diuntungkan karena
mereka cukup sekali saja membeli bibit tersebut karena selanjutnya
dikembangbiakkan sendiri.
“Orang Jerman waktu itu ingin sekali memborong
semua bibit tapi nggak kami kasih”, ujar Soedigdo. Alasan utamanya
adalah singkong terunggul di dunia ini (saat itu) belum jadi status hak
patennya. Antusiasme orang Jerman itu kiranya cukup beralasan. Sebab
menurut Soedigdo, sampai saat ini hanya singkong Darul Hidayahlah yang
terbukti paling unggul. “Singkong ini termasuk jenis singkong
konsumsi yang paling tinggi tingkat produktifitasnya”, katanya. Pria
yang mendapat gelar doktor pada sebuah universitas di Amerika ini
menambahkan bahwa kandungan zat dalam singkong tersebut sangat baik dengan
ACI atau kadar padi 25-31 persen. “Lagipula enak juga dibikin keripik
singkong”, tambahnya. (Dedhi Poernomo) --- Sumber: Tabloid Peluang,
22 Maret 2001.

sebelumnya
| awal | berikutnya
|